1. Pengertian Ta’rif Jarh (Tajrih) dan Ta’dil
Tajrih atau jarh dalam pengertian bahasa adalah “melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dan sebagainya.” Luka yang disebabkan kena pisau dan sebagainya dinamakan jarh. (1. Hal279)
Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits.
Contoh:
Perkataan Ibnu Hajar dalam Taqribu Tahdzib tentang Zaid ibn Habab – rawi ini dipakai Imam Muslim – Ibnu Hajar mengatakan “Dia adalah orang yang jujur (Jujur dalam istilah Ibnu Hajar berarti haditsnya berkualitas hasan.). Namun, riwayat-riwayatnya adalah keliru jika dia dapatkan dari gurunya yang bernama Sufyan Atsauri. Namun dia tidak dha’if untuk guru yang lain.”
Ta’dil menurut bahasa ialah menyamaratakan, mengimbangi sesuatu denganyang lain dan menegakan keadilan atau berlaku adil.(2. Hal 279)
Secara istilah kata at-ta’dil berarti upaya mengungkap sifat-sifat bersih dari seorang periwayat hadis sehingga nampak keadilan (adalah) –nya yang menyebabkan diterimanya riwayat yang disampaikan.
2. Macam-macam Kaidah Jarh dan Ta’dil
Kaidah-kaidah jarh dan ta’dil ada dua macam:
a. Pertama, kepada cara-cara periwayatan hadis, sahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka. Disebut pula naqdun kharijiyun, yaitu kritik yang dating dari luar hadits atau kritik ekstrinsik.
b. Kedua, berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak ada jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya. Dinamakan naqdun dakhiliyun, yaitu kritik dari dalam hadits atau kritik eksintrik. (3 hal280)
3. Kegunaan Ilmu Jarh dan Ta’dil
Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.(4. Dr. Mahmud at- Thahan,"Metode Takhrij dan penelitian sanad hadis", Surabaya: PT Bina Ilmu,1995, hal:100)
Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
4. Sejarah Timbulnya Jarh dan Ta’dil
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui hadist-hadist yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaannya hingga dapatlah merasa membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.
Karena itu para ulama menanyakan kadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan orang yang lebih lama nenyertai guru. Para ulama hadist yang telah menempatkan lafadz-lafadz ta'dil yaiitu: Ibn, Al Abi Hatim, Ibn Sholah dan An Nawawi Adz-Dzahabi Hafidz Ibn Hajar. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam.
5. Syarat Menerima Penta’dilan dan Pentajrihan
Disyaratkan kepada mu’adill dan jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’ashshub, dan mengetaui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab tadzkiyah.orang yang tidak memiliki keadaannya, tidaklah dapat diterima tadzkiyah dan jarh-nya.
Dalam kitab thawatih ar-rahmat syarah Musallamu ats-Tsubut diterangkan bahwa mudzaki (orang yang menyatakan keadilan seseorang) harus sorang yang adil lagi mengetahui sebab-sebab jarh dan ta’dil, insyaf lagi jujur, bukan muta’asshib, dan ujub kepada diri sendiri. Orang yang muta’asshib (fanatic terhadap golongan tertentu) tidak didengar perkataannya.